Saya dan adik biasa menangis diam-diam. Kecuali sebab yang melibatkan kami berdua, tak pernah sekalipun saya menemukannya sedang menangis sesenggukan. Paling-paling cuma bekasnya saja yang terlihat, seperti mata sembab atau hidungnya yang tiba2 meler. Tapi tidak dengan hari ini.
Sekitar pukul sepuluh pagi adik saya muntah-muntah. Tiga hari terakhir kesehatannya memang kurang baik. Dan sejak semalam makanan bahkan minuman sulit sekali bertahan lama di dalam tubuh. Tak lama, saya mendengar suara tangisan adik dari kamar tengah. Makin lama makin kencang. Sayapun segera menghampirinya.
"Ayah... Ayah....." katanya sambil terisak.
"Kamu kenapa?" tanya saya, berusaha tenang. Saya cek keningnya, MasyaAllah, panas tubuhnya cukup tinggi.
"Kangen ayah..." balasnya.
Hmm... Sampai di sini hati saya ikut bergolak. Dear my sista, me too. Really miss him. Tapi kenapa momennya pas kamu sakit gini sih? Batin saya. Saya hampir ikut menangis juga.
Dalam kondisi ini saya memang bukan tipe orang yang romantis atau peduli. Saya kadang memilih untuk membiarkan perasaannya itu larut sendiri. Saya tak ingin terbawa arus. Maka, saya tinggalkan ia. Saya pikir, tak apa menikmati rasa sedih akibat kerinduan yang mendalam ini sekali-kali.
Sebelum adzan zuhur, kami akhirnya memutuskan membawa adik ke RS untuk tes darah. Awalnya saya hanya menganjurkan adik periksa di dokter dekat rumah. FYI, saya alhamdulillah nggak pernah dirawat di RS dan cukup anti berobat. Jadi kalau sakit (flu/demam) saya biasa memilih mengobatinya dengan banyak makan terutama buah dan istirahat yang cukup. Tapi, kakak ipar saya bilang kalau panasnya yang 3 hari tak kunjung turun dikhawatirkan akibat virus yang membobol imunitasnya.
Benar saja. Adik saya positif mengidap penyakit tifus dan DBD. Dokter menyarankan agar adik dirawat inap mengingat makanan yang juga tak kunjung masuk.
Sebagai kakak, tentu saya bertanggung jawab terhadap apa yang dialami adik saya ini. Sayalah yang sehari-harinya bersama dia dan seharusnya menyediakan makanan bergizi. Meski sebenarnya saya tak perlu merasa terlalu bersalah pula. Adik saya ini sudah 21 tahun. Dengan aktivitasnya yang padat, harusnya ia bisa mengatur waktunya dengan baik, terutama soal makan. Udah gede kok! Tapi bagaimanapun, adik tetaplah adik. Dan sebagai kakak, saya merasa tak bisa menjalankan peran dengan baik.
Tak pernah terpikir bahwa Ramadhan ini akan saya jalani di rumah sakit. Ini bukan kali pertama. Sebelumnya, pernah pula saya sahur dan berbuka puasa saat ibu dirawat dulu. Kini, meski saya masih juga amateur sebagai pendamping orang sakit, saya hanya ingin adik saya tahu, bahwa meski ayah dan ibu telah tiada, ia masih punya kakak yang akan menemaninya. Kakak-kakak kami yang lainnya pun tak kalah dalam mencurahkan perhatiannya untuk adik saya yang satu ini.
***
Cattleya,
18 Juli 2013 pk. 00.22 wib
Betapa sehat itu nikmat. Syafakillah adikku..