December 21, 2012

Film-film Korea Bertemakan Ibu

Menyambut tgl 22 Des yang katanya diperingati sebagai hari ibu, maka saya jadi kepengen review film-film korea yang beberapa waktu terakhir ditonton dan ternyata tiga di antaranya bertemakan tentang ibu. Meski tema utamanya sama, tapi yang menarik, ketiga film ini punya sudut pandang yang berbeda dalam mengartikan sosok seorang ibu. Sengaja saya urutkan review-nya berdasarkan film yang paling keren banget sampai yang keren aja versi saya #halah ^^

Let’s cekidot!

1. A Long Visit aka  My Mom (2010)

Pertama kali dapet kopian film ini dari adek ,langsung dikasih testimoni dari temennya: “lima menit pertama udah bikin nangis, trus nggak brenti2 sampe filmnya selesai.” Oke, buat saya komen itu lebay! Apalagi setelah menemukan fakta bahwa saya baru mulai terharu di menit ke-13, itupun belum sampe nangis #pentingbanget :p. Tapi ternyata, rangkaian momen yang pelan2 disajikan aseli emang bikin emosi memuncak. Walhasil, sedikit aja momen mengharukan muncul, udah buat saya gampaaaang banget menangisinya.

Cerita diawali dengan seorang wanita (Jisuk) yang hendak berkunjung ke rumah ibunya di desa. Dalam perjalanan tersebut, ia mengingat momen di masa lalu sejak ia kecil hingga menikah dan memiliki anak. Jisuk kecil yang pintar diperlakukan dengan sangat baik oleh ibunya. Awalnya Jisuk begitu acuh dengan perlakuan ibunya, bahkan cenderung malu hingga tak mengizinkan sang bunda datang di hari kunjungan orangtua ke sekolah. Namun ketika Jisuk beranjak remaja dan mulai tak tahan dengan keadaan keluarganya -ayahnya sering memukuli ibunya-, sikapnya pada sang bunda berubah. Lewat obrolan Jisuk dengan ibunya, ia meminta ibunya bercerai saja atau pergi ke Seoul.

Ibu Jisuk tak menyetujui permintaan anaknya. “Seorang ibu harus melakukan sedikit pengorbanan,” kata Ibu Jisuk. Meski suaminya sering memperlakukannya dengan kasar, ia memilih bertahan karena jika ia bercerai, maka Jisuk akan sangat kerepotan untuk mengurusi keluarganya.

Oke, selebihnya adalah potongan-potongan cerita ketika Jisuk menerima beasiswa untuk kuliah di Seoul, mengalami pertentangan keluarga saat hendak menikah dengan suaminya, saat sang ayah akhirnya meninggal, dlns (dan lainnya nonton sendiri, hehe). Dan tentu saja setiap potongan cerita itu tak terlepas dari sosok luar biasa ibu Jisuk.

2. Wedding Dress (2010)

Di antara ketiga film tersebut, sebenarnya Wedding Dress-lah yang pertama kali saya tonton. Sejak beberapa waktu yang lalu, saya sudah direkomendasikan film ini oleh teman, sayangnya belum dapet2 kopian filmnya *malesunduh.com ^^v. “Ini film sedih banget,” begitulah komentar yang saya terima. Yaph. Saya sepakat! Apalagi didukung oleh acting keren dari para pemainnya. Kayaknya bakal dipertanyakan deh sensitivitasnya kalo sampe selepas nonton film ini, gak ada satupun bulir-bulir airmata yang jatuh di pipi #eaaa.

Jika film sebelumnya mengambil sudut pandang si anak terhadap ibunya, Wedding Dress agaknya mengambil dua sudut pandang, yaitu ibu dan anak. Go-Woon, seorang single parent bagi anak perempuan bernama Sora, mendapati bahwa kanker lambung yang dideritanya membuat ia menyadari satu hal bahwa usianya tak lama lagi. Karena itulah ia berusaha memanfaatkan sisa waktunya dengan baik dengan memberikan perhatian yang lebih pada anaknya. Sora yang akhirnya mengetahui penyakit ibunya kemudian juga berusaha mewujudkan harapan-harapan Go-Woon sebelum ia meninggal.

Bisa dibilang alur dan endingnya sangat mudah ditebak. Bagi saya, yang menarik di sini adalah konflik batin yang disajikan. Bagaimana Go-Woon yang awalnya sibuk dengan pekerjaannya hingga membentuk pribadi Sora yang mandiri merasa telah kehilangan banyak momen terkait tumbuh kembang sang buah hatinya. Atau tentang Sora yang keras kepala dan tegar tapi ternyata sama seperti anak pada umumnya, tak rela jika harus kehilangan orangtuanya.

3. The Last Blossom (2011)

Dibandingkan dengan dua film sebelumnya, The last Blossom menyajikan konflik beragam dan membawa beberapa kejutan menjelang akhir filmnya. Yah, meski lagi-lagi endingnya bisa ditebak ^^v. Sudut pandang yang diambil untuk film ini lebih meluas lagi, yaitu peran seorang ibu di mata suami, anak, mertua, bahkan adik dan adik iparnya.

Berkisah tentang In-hee yang harus mengurus keluarganya -yang buat saya sih semua anggotanya bermasalah-. Meski suaminya dokter, tapi ia tak terlalu peduli dengan kesehatan sang istri yang mengeluhkan sakit di bagian kandung kemihnya. Mertuanya yang sudah tua -kalau menurut hancinema.net menderita alzeimer- hanya membawa kekacauan di rumah dan sering memperlakukan In-hee dengan kasar. Anak perempuannya terlibat affair dengan teman sekantornya. Anaknya yang laki-laki menghamili pacarnya. Adik laki-lakinya tukang judi. Hadeeeuh, kompleks beut kan masalahnya?

Meski begitu, In-hee amat menyayangi keluarganya. Sayang, ia harus menghadapi kenyataan bahwa rasa sakit yang ia rasakan selama ini harus berujung pada kematian. Mengetahui fakta tersebut, suaminya yang merasa tidak becus sebagai seorang suami sekaligus dokter sebenarnya sudah mengusahakan kesembuhan sang istri. Namun kanker kandung kemih telah menyebar di seluruh tubuhnya dan tak bisa disembuhkan. Lambat laun, satu persatu keluarganya mengetahui penyakit tersebut dan mulai menyadari peran penting yang selama ini dijalankan ibunya di rumah.

Emm, buat yang nggak suka spoiler, saya amat sarankan untuk cukup membacanya sampai di sini. Soalnya setelah ini, saya akan mengungkap ending untuk film tersebut. Sila langsung beri komentar di kolom yang sudah disediakan aja yah ^^v

.
.
.

Oke, mari kita lanjutkan!

Seperti yang saya bilang. Ketiga film ini bisa ditebak endingnya. Yaa apalagi kalo bukan kematian tokoh sentralnya? Eits, tapi jangan salah duga yah. Untuk film pertama, yang mati duluan itu anaknya loh! -Dan entah kenapa penyakitnya nggak jauh2 dari kanker di saluran pencernaan- Meski endingnya bisa ditebak, toh saya tetap tak rela jika tak menuntaskan film ini sampai akhir. Kesan yang didapat dari film-film dengan model seperti ini emang bukan dari endingnya, tapi rentetan cerita yang menyentuh dan membawa pesan-pesan kehidupan.

Ini nggak jauh beda dengan membaca novel. Seberapapun berharapnya saya pada sebuah novel dengan ending yang mengejutkan, tapi kalau nyatanya saya bisa dengan mudah menebak akhir ceritanya, yang saya harapkan kemudian adalah alur yang disajikan membawa kesan mendalam atau diwarnai konflik yang tak biasa (dan tentunya selesai dibahas ketika sampai di bagian ending cerita).

Oya, buat yang menginginkan film yang "bersih", saya sarankan untuk menonton film no.1 dan 2 saja. Meski temanya tentang keluarga, tapi film no.3 menyajikan beberapa potongan cerita yang nggak cocok ditonton anak-anak, baik dalam segi perkataan, kekerasan, maupun tingkah lakunya. Mungkin ini juga yang bikin The Last Blossom ada di urutan ketiga. Memang sih ada beberapa scene yang mungkin mendukung keseluruhan cerita, tapi saya pikir, tanpa harus menyajikan hal-hal semacam itu, sebuah film atau novel tetap mampu memberikan kekuatan cerita dari alur yang digarap dengan baik, seperti dalam film A Long Visit dan Wedding Dress.

Yasuw, begitu saja. Saran terakhir, kalau teman-teman merasa nggak cukup cantik/ganteng ketika menangis, lebih baik menonton film ini sendirian. Hehe.. Jangan lupa sedia tisu sebelum hujan airmata :P

Dan selamat hari ibu buat para bunda di muka bumi ini ^_^

December 17, 2012

Sop Macaroni Buncis

Sore-sore. Hujan-hujan. Belum makan siang. Kondisi kayak gitu jelas bikin perut saya krucuk-krucuk. Cek kulkas, alhamdulillah masih ada beberapa potong ayam yang siap digoreng. Tapi rasanya kurang lengkap aja kalau nggak pake sayur. Sayangnya stok sayur di rumah nggak banyak -padahal emang jarang nimbun sayuran juga, hehe-. Ada buncis, kentang, kacang merah. Kalo dibuat orak-arik buncis kok bosen yah? (baca: cuma tau menu itu). Dipikir-pikir, bisa lah dibuat sayur sop. Kebetulan ada makaroni juga di rumah.

Oke! Googling pun dimulai!

Biasanya yang sering saya cari itu resep-resep dengan bumbu minimalis. Alasannya sederhana, karena di rumah emang nggak biasa nyimpen bumbu, apalagi yang aneh-aneh. Nah, dari resep yang ada, kebanyakan memasukkan kaldu blok atau penyedap ke dalam sopnya. Hmm.. Haruskah? Saya jarang pake bumbu instan itu buat masak. Kalau mau sebenarnya bisa pake kaldu asli dari ayam atau daging. Etapi... *cek kulkas lagi*

Nggak ada ayam ataupun daging. Haha.. Ayam ungkep udah digoreng semua kecuali kepala dan lehernya. Gapapa lah. Kan cuma mau diambil cita rasa ayamnya aja. Sip! Bungkus!

Dan berikut bahan-bahan yang dibutuhkan:
- 4 buah buncis
- 1/2 buah kentang
- 30 gr macaroni
- 1 batang daun bawang
- 1 sdm merica bubuk
- 1 sdt saus tiram
- ayam untuk kaldu
- garam dan gula secukupnya
- air

Cara memasak:
1. Rebus ayam dalam air hingga mendidih.
2. Masukkan macaroni dan kentang. Setelah setengah matang, masukkan buncis dan daun bawang.
3. Tambahkan garam, gula, merica, dan saus tiram.
4. Rebus hingga semua bahan empuk.
5. Sop makaroni siap disajikan.

Trus rasanya?

Sebagai newbie dalam dunia permasakan, menurut saya rasanya nggak mengecewakan. Eatable lah -buat lidah saya :P- Paling agak terasa spicy aja gegara mericanya kebanyakan. Tapi berikut poin-poin yang perlu diperhatikan.

* Kuah sop jadi kuning akibat bumbu ayam yang sudah diungkep sebelumnya. Lain kali pakai ayam atau daging yang masih mentah aja biar rasa lebih natural dan warna kuahnya nggak 'butek' XD

* Jangan pake saus tiram. Asli, awalnya lidah saya bilang rasanya agak-agak rusak. Yaiyalah. Ayam dan tiram itu emang nggak matching. Apalagi buat bumbu sop. Hadeuh, ide darimana sih ini? Padahal di resep nggak ada satupun yang pake saus tiram.

* Beberapa sumber merebus macaroni secara terpisah. Tapi hemat saya, berhubung ada kentang yang kudu direbus agak lama, kenapa nggak digabung aja sekalian ngrebusnya? Saya nggak suka macaroni yang terlalu lembek soalnya. Untunglah hasil akhirnya memuaskan. Kentang dan macaroni empuk bersamaan. ^^b

* Ada situs yang bilang untuk nggak menambahkan tomat. Katanya bikin sop jadi agak masam. Entahlah. Belum dicoba. Tapi tergantung selera kali yah.

Porsi: (harusnya) 2 orang (tapi karna adek saya gak doyan buncis -dan entah keknya gak tertarik liat penampilan sopnya- jadilah sopnya saya habiskan semua)

Selamat memasak!

Published with Blogger-droid v2.0.9

December 15, 2012

Solitaries


Aku memandang kerumunan Pantala di kejauhan. Ada kalanya aku didera rasa iri. Bagaimana rasanya terbang bersama-sama? Aku ingin, tapi aku takut. Terbiasa terbang sendiri membuatku sulit terikat dalam suatu kelompok.

Aku ini Ictinogomphus. Harusnya tak ada kata kesepian dalam kamus hidupku. Bukankah aku terbiasa bertengger sendirian di tepi sungai? Tapi mengapa tiba-tiba aku merasa sepi? Dan, oh, mengapa suara tonggeret itu justru memainkan melodi kesenduan?

Dan hujan yang turun seolah ingin menyaingi hatiku yang gerimis. Aku kebasahan. Dan aku berharap Sang Matahari segera datang dan mengeringkan sayap-sayapku. Aku ingin terbang kembali.

***
Di balik 3 jendela,
15 Des '12 pk. 06.12 wib
Foto dari thaiodonata.blogspot.com

Published with Blogger-droid v2.0.9

December 05, 2012

Anugerah Jurnalistik Aqua 2012


Tahun lalu ikut kompetisi ini dan alhamdulillah masuk 10 besar untuk kategori blogger. Hadiahnya meningkat dibanding tahun lalu, euy! So, mari kita ikutan lagi ^^b

nb: zoom image for more info ^^v

Published with Blogger-droid v2.0.9

December 02, 2012

Banyak Bercerita Sedikit Menulis

Rasanya agak shock juga. Dari 30 hari yang bergulir di bulan November, ternyata saya hanya menyumbang satu tulisan untuk blog ini. Bahkan kegiatan membacapun seolah ikut-ikutan membawa progress yang buruk. Hanya satu buku yang tuntas dibaca. Itupun buku yang sudah beberapa bulan lalu saya cicil halamannya. Haissh..

Saya lantas teringat sebuah komen dari Desti di postingan saya sebelumnya:

"Jika tidak menulis biasanya seorang wanita akan bercerita.. dorongan ini tidak bisa ditahan.. jika tidak dua2nya dia tidak sedang berfikir, tapi sedang merasakan sesuatu yg tidak mudah atau tidak seperti biasanya untuk dibagi."

Tepat sekali!

Akhirnya saya menyadari bahwa apa yang disampaikan kawan saya tersebut ada benarnya juga. Dulu saya biasa menulis di kala malam sebelum mata terpejam. Waktupun masih teramat luang saat itu. Jadi sedikit-sedikit masih ada kesempatan untuk menulis. Hampir setiap hari, ada saja kisah yang saya tuangkan ke dalam blog. Begitulah, saya memang senang bercerita lewat media apapun. Tapi lain dulu lain sekarang. Aktivitas yang mulai padat namun kebutuhan untuk berbagi cerita justru meningkat tajam, membuat saya akhirnya tanpa sadar tak lagi memasukkan kegiatan updating blog ke dalam prioritas utama.

Saya kemudian memilih cara yang lebih instan: berbincang dengan seseorang.

Bersyukur saya memiliki adik yang merangkap sebagai teman curhat. Sebenarnya aktivitas berbagi cerita telah saya lakukan semenjak kepergian ibu beberapa tahun yang lalu. Saat itu adik saya masih duduk di bangku SMA dan rasanya perlu untuk didampingi. Saya lalu mencoba menjadi pendengar yang baik seperti yang ibu lakukan dulu. Lumayanlah, dengan sedikit pancingan cerita, adik saya perlahan-lahan mulai terbuka untuk menceritakan hal-hal menarik yang ia dapatkan selama di sekolah.

me and my lovely sister
Seiring waktu yang bergulir, kebutuhan bercerita itu bukan hanya milik adik saya. Sayapun sering mengambil alih waktu curhatnya, memintanya untuk gantian mendengarkan kisah yang saya alami. Begitulah, di kala pagi, saat mematut di cermin sambil mengenakan jilbab segi empat kami, akan ada satu dua cerita yang terlontar dari mulut yang satu dan sepasang telinga yang siap mendengarkan dari yang lain.

Dan belakangan, kebutuhan bercerita itu rasanya semakin memuncak. Kami lantas secara otomatis menambah jam curhat, seringnya selepas kami beraktivitas di luar rumah. Kadang sambil makan, di lain waktu sambil bersantai di ruang tengah, bahkan tak jarang saat kami sudah dalam posisi siap untuk menuju pulau kapuk. Entah siapa yang memulai curhat duluan, tak jadi soal. Hingga tak terasa satu dua jam terlewati hanya untuk sesi berbagi cerita itu. Apa yang ingin disampaikan telah semuanya dimuntahkan. Menulisnya kembali ke dalam blog? Oh, saya sudah mengantuk, kawan!

Dan boleh jadi, paragraf demi paragraf yang saya tulis ini -lagilagi- hanyalah sebuah bentuk pembenaran atas ketidakmampuan saya mengelola waktu dengan baik. Harusnya saya sudah bisa mengatasi ke-jetlag-an saya akan hal-hal baru yang dua bulan terakhir harus saya jalani. 

Kemudian teringat obrolan dengan Mba Elita saat kami mengunjungi Penerbit Gramedia pekan lalu. "Mumpung masih single, manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menulis." Ah, rasanya ini bukan kali pertama saya mendapat nasehat semacam ini. Tapi pesan teman di grup menulis saya tersebut seolah menjadi pengingat kembali agar saya bisa serius dalam menyisihkan waktu saya untuk menulis. Ini juga harusnya yang menjadi motivasi saya, apalagi jika mengetahui bahwa yang memberi nasehat itu adalah para ibu rumah tangga atau working mom yang tetap produktif menulis.

Baiklah, mengawali bulan Desember ini, mari mengumpulkan semangat menulis dan membaca kembali! Yosh! Saya pasti BISA!! ^^b

***
di balik 3 jendela,
1 Desember 2012 pk. 23.14 wib
 dan mimpi bertemu ayah serasa menjadi pembuka yang manis di akhir tahun ini :)